Oleh: F KALIMOSODO
Apa hakikat tanggung jawab seorang kiai di tengah-tengah peradaban umat manusia?
Z-Styling - Mengawali dengan mengucapkan kalimat Bismillah, saya mencoba memulai sebuah tulisan yang tema pokoknya tentang peran kiai. Pada tulisan saya kali ini tidak ada maksud sedikitpun untuk menjatuhkan harkat dan martabat seorang kiai, saya hanya ingin mengajak para pembaca untuk masuk ke alam perenungan.
Begitu berat bagi seorang saya untuk menggerakkan jari jemari ini mengikuti ritme pemikiran. Ritme pemikiran yang selalu diselimuti oleh kebodohan dan kedangkalan ilmu saya. Tapi saat ini, disaat saya memulai tulisan ini, saya lebih mendefinisikan diri sebagai "Khalifatullah" manusia yang menyumbangkan diri bagi proses-proses sosial, bukan "Ana Abdullah" manusia yang lebih memilih menghimpun pahala-pahala pribadi.
"Setiap penulis akan mati, hanya karyanyalah yang akan abadi, maka tulislah sesuatu yang membahagiakanmu di akhirat nanti". Itulah pesan Sayyidina Ali r.a, yang menjadi sugesti bagi saya untuk selalu menulis berbagai hal, dan semoga tulisan pendek ini yang akan membahagiakan bagi saya, bagi Anda dan bagi kita semua di akhirat kelak. Marilah jadikan tulisan pendek ini sebagai renunangan bagi pribadi kita masing-masing, agar kita kembali menemukan daya di dalam ketidakberdayaan ini.
Kiai dan Dalang
Seorang kiai dan dalang mempunyai kesamaan di dalam orientasi lakonnya, yaitu menanamkan kebaikan terhadap diri masyarakat dan atau tujuan akhirat di dalam pencapaiannya; memanusiakan manusia sebagai wujud pencapaian mulia dunia akhirat. Yang berbeda dari keduanya hanyalah metode penyampaiannya saja. Jika seorang kiai menyampaikan di dalam acara pengajian, maka seorang dalang akan menyampaikan lakon pewayangannya.
Lalu apa yang akan terjadi ketika seorang dalang lupa terhadap lakon yang mau dipertontonkan? Yang pasti, seorang dalang tersebut akan gagal mencapai tujuannya. Karena makna yang terkandung di dalam pertunjukan pewayangannya tidak dapat tersampaikan.
Lakon Pewayangan
Tugas seorang dalang bukan hanya sekedar pertunjukkan untuk hiburan semata, tetapi lebih dari itu. Harus mampu memberi pelajaran, wejangan, nasehat, dan tafsiran yang terkandung dalam kitab suci beserta maknanya kepada penontonnya, sehingga bermanfaat bagi peradaban manusia guna mencapai kemaslahatan terhadap masyarakat.
Begitu juga lakon seorang kiai, tentu tidak lepas dari tanggung jawab yang begitu besar. Tanggung jawab dalam mengemong, mengayomi dan mengembalakan umat yang semua itu bermuara kepada cahaya-Nya. Benar seperti apa yang telah dikatakan oleh Emha Ainun Najib, dalam bukunya "Kitab Ketentraman" yang ditulis oleh Kakanda M. Alfan Alfian dkk, ulama atau kiai, "Mereka hanyalah pengantar untuk menuju cahaya, bukan cahaya sendiri". Bahkan di dalam hadist juga disebutkan bahwa, "Sesungguhnya ulama atau kiai adalah pewari para Nabi". H.R Abu Daud dan. At Tirmidzi.
Para ulama atau kiai, mewarisi sifat dan tingkah laku para Nabi serta memiliki keterikatan terhadap wahyu Allah. Maka, segala pemikiran, tingkah laku dan tutur kata seorang kiai hendaklah mencerminkan nilai-nilai keislaman, karena kiai sejati tidak akan mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai islam dan juga tidak menghalalkan segala sesuatu yang haram dengan alasan semata-mata karena demi kemaslahatan.
Kiai Dalang
Kapasitas keilmuan seorang kiai tidak banyak namun juga tidak sedikit, seperti stamina pengabdiannya, tingkat mobilitasnya, elektabilitas kepercayaan pengikutnya, intensitas konsentrasinya, kejernihan daya tafakkur dan ketajaman analisis ghaibnya hanya dijadikan tipu muslihat untuk mengejar ambisi-ambisi pribadinya. Kiai-kiai seperti itu saya sebut saja sebagai "Kiai Dalang Lupa Lakon", kiai yang lupa terhadap tanggung jawab dan misi mulainya. Bahkan lebih parahnya lagi, lupa terhadap dirinya sebagai publik figur yang dielu-elukan masyarakat, sehingga lupa pula ia terhadap kesejatiannya.
Lupa Lakon
Kiai dalang yang lupa lakon ini hanya akan bergerak melangkah mengikuti nafsunya. Mengejar kenikmatan sesaat dan lupa terhadap kenikmatan akhirat. Luas samudra masih kalah dibandingkan luas nafsunya yang menempel dengan daya khayal kiai dalang. Kiai dalang tidak peduli lagi terhadap nasib umat, kiai dalang acuh terhadap aqidah umat, dan kiai dalang tidak mau tahu terhadap kemungkaran-kemungkaran yang terjadi diperadaban ini, semua itu terjadi karena sebab, kiai dalang telah lupa lakon.
0 Response to Kiai Dalang Lupa Lakon
Posting Komentar
Terima kasih Anda telah berkomentar.