Cerpen: Kesedihan Umat Muhammad di Penghujung Ramadhan

Oleh: F Kalimosodo

air mata kesedihan

Di sudut kota Bondowoso, terdapat sebuah desa yang berada tepat di bawah kaki gunung Argopuro. Gunung inilah yang menjadi kesayangan para penduduk desa untuk memperbesar harapan hidup mereka. Dengan bekal mengelus-elus tanah kering saat musim kemarau dan berlumpur ketika musim hujan, aktivitas ini seperti menjadi ritual khusus untuk mendapatkan kebahagian tersediri dengan menyatu dengan tanah ini. Tanah dimana aku dilahirkan dan dibesarkan oleh peradapan manusia tanpa ada sedikitpun kemewahan layaknya hidup di perkotaan.

Suara takbirpun mulai berkumandang di langit-langit desaku. Gema takbir dari segala arah sebagian besar terdengar dengan intonasi kebahagian. Malam itu, aku hanya bisa mengurung diri di dalam kamar yang pengap. Karena selama tiga hari terakhir kondisiku tidak memungkinkan untuk beranjak keluar kamar, seluruh orang yang menghampiriku mengatakan bahwa aku sedang sakit. Sudah berkali-kali aku coba memejamkan mata dengan membenamkan kepala di bawah bantal agar bisa terlelap, namun usaha itu selalu saja gagal. Fikiran yang terombang-ambing kemana-mana mengingat banyak kisah yang menghentakku di dunia ini yang kerapkali membuat aku termenung dan terpana.

Lama terbawa lamunan, ku coba sudahi dengan berbaring lemas sembari menatap buku setebal dua ratus lima puluh lembar yang setengahnya telah ku baca, benda inilah yang selama ini menyita sebagian banyak waktuku. Sejenak, konsentrasiku pecah saat terdengar suara tamu yang mengucapkan salam dari balik pintu rumah, karena dari sekian banyak kamar, di kamarkulah yang paling dekat jaraknya dari pintu depan. Seketika itu, ku dengar kakakku mempersilahkan sekaligus menyuruhnya masuk tanpa membukakan pintu, karena pintu rumahku memang jarang ditutup. Ku coba alihkan pandangan ke balik tirai kamar, ternyata tamu tersebut adalah Pak Muasin, salah satu guru SMP di Bondowoso yang sering silaturrahim ke rumah.

Setelah lama mereka ngobrol ngalor-ngidul, Pak Muasin kini berbicara dengan intonasi bahasa yang agak serius.

"Saya gak habis pikir Gus, terhadap umat Islam saat ini". Tuturnya kepada kakakku.

"Gak habis pikir bagaimana yang jenengan maksud Pak Guru?" Tanya kakakku dengan bahasa yang renyah didengar. Sambil menyeruput kopi yang sebelumnya sudah disediakan sembari menghisap batang rokok bergambar stasiun kereta itu, Pak Muasin melanjutkan pembicaraannya.

"Tadi saya lihat berita di Televisi, ada peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Indonesia, tepatnya di daerah Surakarta. Anehnya pelakunya adalah orang muslim. Dan ironisnya lagi, teror bom bunuh diri kali ini terjadi tepat di penghujung Ramadhan. Yang menjadi tanda tanya besar di diri saya, mengapa setiap ada peristiwa bom bunuh diri pelakunya mesti umat Islam yang mengatasnamakan Jihad, Gus?"

Sejenak kakakku terdiam mendengar pertanyaan dari Pak Muasin tersebut, bukan lantas enggan untuk menjawab, kakakku tidak menyangka seorang Pak Muasin bertanya hal seperti itu. Selama ini, Pak Muasin adalah orang yang masuk dalam kategori menganut Paham Apatisme terhadap nilai-nilai keislaman yang terjadi dalam kesehariannya. Karena konsep hidup bagi seorang Pak Muasin hanyalah sebuah perjalanan dari; Lahir, sekolah, bekerja dan mati. Namun saat ini semua itu terbantahkan oleh pertanyaan dan dipertegas dengan segaris senyuman yang terkulum dari raut wajahnya yang kering menahan percikan-percikan api kesedihan.

Sepertinya malam itu kakakku begitu bangga kepada Pak Muasin, karena cinta dan kepeduliannya bagi bangsa dan agama ini sudah mulai tumbuh di jiwanya. Kebanggaan kakakku terlukis di senyumannya yang tipis dari bibirnya yang puitis. Sambil menepuk-nepuk pahanya, kakakku pun mulai berbicara memberikan sebuah pemahaman.

"Umat Islam saat ini hanya sibuk bertengkar sesama umat Islamnya sendiri. Mereka saling mengkafirkan, menganggap dirinya paling benar dan orang lain dianggap salah, Ukhuwah Islamiyah hanya berlaku bagi orang yang mau mengikuti jalan pemikiran mereka. Padahal seandainya mereka sadar, bahwa kemenangan sejati sama sekali bukan kemenangan atas diri orang lain, bahkan juga bukan kemenangan umat Islam atas umat yang lain karena Islam tidak dihadirkan ke bumi untuk kekuasaan satu pihak atas pihak lain. Akan tetapi untuk merahmati seluruh alam. Pak Guru semestinya sudah tahu bahwa umat Islam saat ini kekeringan sikap toleran dan harus banyak berlatih memandang manusia lain yang berbeda pemikiran, faham, aliran, atau bahkan agama sekalipun dengan rasa saling menghormati, menghargai dan penuh kasih sayang".

Sejenak aku tertegun mendengar nasihat kakakku kepada Pak Muasin. Dalam hati ku berkata, "Oh, Kak, siapakah sebenarnya dirimu? Manusiakah? Atau malaikat yang sengaja menjelma menjadi manusia? Mengapa kau begitu peduli terhadap umat Islam, padahal berkali-kali umat Islam menyakitimu".

Saat itu pula, spontan aku merasakan amat begitu kesepian. Sembari menatap dinding kamar, ku coba meninggalkan alam bawah sadar untuk kembali ke jiwaku, karena dalam sadarku, aku banyak memiliki kesetiaan dari kesendirianku. Baik pagi dan sore, ataupun siang dan malam. Karena hanya kesendirian inilah yang mengajakku bergumam kepada Tuhan. Berharap, "Duh Gusti, apakah tidak ada di dunia yang seluas ini gadis yang misalnya bernama Fitrih, mungkin putri dari Pak Haji Idul yang engkau datangkan kepadaku untuk menggantikan kesendirianku malam ini".

Suara takbir Idul Fitrih pun terus menggema, dan aku kembali mencoba membenamkan kepala di bawah bantal.

0 Response to Cerpen: Kesedihan Umat Muhammad di Penghujung Ramadhan

Posting Komentar

Terima kasih Anda telah berkomentar.